Kamis, 25 Oktober 2007

" Tuhan "


Lukisan yang menggambarkan Tuhan pada abad ke-16. Karya Michelangelo (lama banget ya)
Kata Tuhan merujuk kepada suatu Zat Abadi dan Supernatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah Manusia dan alam semesta atau jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang mirip dengan ini misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; Kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apapun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.

Banyak tafsir daripada nama “Tuhan” ini yang bertentangan satu sama lain. Apakah ini artinya sebenarnya? Meskipun kepercayaan akan “Tuhan” ada dalam semua kebudayaan dan peradaban, tetapi definisinya lain-lain. Istilah Tuan juga banyak kedekatan makna dengan kata Tuhan, dimana Tuhan juga merupakan majikan atau juragannya alam semesta. Tuhan punya hamba sedangkan Tuan punya sahaya atau budak.

Tuhan atau Dewa ?

Di dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia; dua konsep atau nama yang berhubungan dengan “Ketuhanan”, yaitu: Tuhan sendiri dan Dewa. Penganut monoteisme biasanya menolak menggunakan kata Dewa di Indonesia, tetapi sebenarnya hal ini tidaklah berdasar. Sebab di Prasasti Trengganu, prasasti tertua di dalam bahasa Melayu yang ditulis menggunakan Huruf Arab (Huruf Jawi) menyebut “Sang Dewata Mulia Raya”. Bagaimanapun, pada masa kini, pengertian istilah Tuhan digunakan untuk merujuk Tuhan yang tunggal, sementara Dewa dianggap mengandung arti salah satu dari banyak tuhan sehingga cenderung mengacu kepada politeisme.
Secara filsafat, prestasi dalam pencarian tuhan biasanya berujung pada penemuan eksitensi tuhan saja, dan tidak sampai pada substansi tentang tuhan. Dalam istilah filsafat eksistensi tuhan itu dikenal sebagai absolut, distinct dan unique.
Absolut itu artinya keberadaanya mutlak bukannya relatif. Hal ini dapat dipahami, bahwa pernyataan semua kebenaran itu relatif itu tidak benar. Kalau semua itu relatif, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa sesuatu itu relatif. Padahal yang relatif itu menjadi satu-satunya eksistensi realitas. Ibarat warna yang ada di seluruh jagat ini hanya putih, bagaimana kita bisa tahu putih padahal tidak ada pembanding selain putih. Dengan demikian tidak bisa disangkal adanya kebenaran itu relatif, dan secara konsisten tidak bisa disangkal pula adanya kebenaran mutlak itu.
Karena kemutlakannya tidak mungkin si mutlak itu ada yang menyamainya. Kalau ada yang menyamainya, maka dia batal menjadi si mutlak, dan jadilah dia sebagai si relatif.
Oleh sebab itu konsekwensi dari distincttifnya, maka ia itu unik. Hanya ada itu satu-satunya. Kalau ada lebih dari satu, tentu dia bukan unik lagi.
Memang dalam gagasan Nietzsche, istilah "Tuhan" (atau "tuhan"?) juga merujuk pada segala sesuatu yang dianggap mutlak kebenarannya. Jadi, di dalam hal ini "ilmu pengetahuan (sains)" bisa saja di-"Tuhan"-kan oleh manusia. Sedang Nietzsche berpendapat tiada "Kebenaran Mutlak"; yang ada hanyalah "Kesalahan yang tak-terbantahkan". Karenanya, dia berkata, "Tuhan telah mati".
"Kesalahan yang tak-terbantahkan" dengan "Kebenaran yang-tak terbantahkan" tidaklah memiliki perbedaan yang signifikan. Apa artinya salah dan benar, kalau tidak terbantahkan ? Sekali lagi, bukankah keduanya tidak terbantahkan ? Sekiranya pemikiran Nietszhe ini dimanfaatkan untuk melanjutkan proses pencairan tuhan, maka tuhan itu suatu eksistensi yang tak terbantahkan. Dengan demikian eksistensi absolut, mutlak dan tak terbantahkan itu sama saja. Jadi, persoalan umat manusia dalam proses pencairan tuhan tiada lain proses penentuan peletakan dirinya kepada (segala) sesuatu yang diterimanya sebagai 'tak terbantahkan' / mutlak / absolut. Muhammad 'Imaduddin 'Abdulrahim Ph.D mendefiniskan tuhan sebagai segala sesuatu yang dianggap penting dan dipentingkan sehingga dirinya rela didominirnya (buku : Kuliah Tauhid).
Tuhan yang manakah yang akan kita pilih ? Apakah akan memilih Allah menurut konsepsi agama atau kebenaran science atau kekuatan idealisme (paham bahwa hakikat segala sesuatu itu hanya berupa ide) ? Kalau mengikuti agama, agama yang mana ?
Perbedaan tuhan dengan dewa hanya sekedar perbedaan terjemah bahasa, meski masing-masing punya latar belakang perkembangan makna terkait dengan apresiasi masing-masing atas konsepsi ketuhanannya. Namun secara universal keduanya menunjuk pada eksistensi yang sama, yaitu soal 'yang tak terbantahkan'.

Konsekuensi Eksistensi Tuhan

Dengan kemutlakannya, tuhan tentunya tidak terikat oleh tempat dan waktu. Baginya tidak dipengaruhi yang dulu atau yang akan datang. Tuhan tidak memerlukan tempat, sehingga pertanyaan tentang dimana tuhan hanya akan membatasi kekuasaannya. Maka baginya tidak ada kapan lahir atau kapan mati.

Manusia dalam mencari tuhan dengan bekal kemampuan penggunaan akalnya dapat mencapai tingkat eksisteninya. Lantas mampukah manusia meneruskannya kepada substansi tuhan itu sendiri. Kemungkinan sejauh ini, kemutlakan tuhan menyebabkan manusia yang relatif itu tidak dapat menjangkau substansi tuhan. Dengan demikian informasi tentang substansi tuhan itu apa, tentunya berasal dari sang mutlak atau tuhan itu sendiri. Bagaimankah tuhan yang mutlak itu mengirimkan informasi kepada yang relatif ?
Di dunia ini banyak agama yang mengklaim sebagai pembawa pesan tuhan. Bahkan ada agama yang dibuat manusia (yang relatif) termasuk pembuatan substansi tuhan itu tentu. Karena banyaknya nama dan ajaran agama yang bervariasi tidak mungkin semuanya benar. Kalau substansi si mutlak ini bervariasi, maka hal itu bertentangan dengan eksistensinya yang unik. Untuk menemukan informasi tentang substansi yang mutlak, yang unik dan yang distinct itu dapat menggunakan uji autentistas sumber informasinya. Terutama terkait dengan informasi tuhan dalam memperkenalkan dirinya kepada manusia apakah mencerminkan eksisteninya itu.

Tidak ada komentar:

 


template by : uniQue  |    modified by : Seputar Bali